Setelah Indonesia merdeka dari penjejahan Belanda, pemerintah Indonesia merasakan kurangnya tenaga kependidikan di semua jenjang dan jenis lembaga pendidikan yang ada di Indonesia. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah mendirikan berbagai kursus pendidikan guru, untuk bisa memenuhi kebutuhan akan tenaga kependidikan di Indonesia. Sekitar tahun 1950-an, pada jenjang di atas pendidikan menengah didirikan B-I, B-II, dan PGSLP yang bertugas menyiapkan guru-guru untuk sekolah lanjutan. Usaha-usaha untuk meningkatkan mutu dan jumlah guru terus dilakukan melalui pendirian Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) oleh pemerintah.
Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) oleh pemerintah melalui Keputusan Menteri P dan K No. 382/Kab. tahun 1954. PTPG ini didirikan di empat kota yakni Batusangkar, Manado, Bandung, dan Malang.[1]
Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) merupakan pendidikan guru yang diselenggarakan di luar universitas. Menyusul berlakunya SK Menteri P & K No. 382/Kab. Tahun 1954 tersebut, PTPG Malang dan Bandung merupakan lembaga yang dipersiapkan untuk memenuhi kebutuhan guru di Pulau Jawa, PTPG Batusangkar untuk wilayah Sumatera, dan PTPG Manado untuk Indonesia Tmur.
Dengan demikian, terdapat dua macam lembaga pendidikan yang menghasilkan tenaga guru, yaitu Kursus B-I/B-II/PGSLP dan PTPG. Pendirian PTPG menimbulkan dualisme dalam penyiapan tenaga guru sekolah menengah. Akhirnya, kedua lembaga ini kemudian diintegrasikan menjadi satu lembaga pendidikan melalui berbagai tahap. Pada tahun 1957, PTPG diintegrasikan ke dalam Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan pada universitas terdekat. Berdasarkan PP No. 51 tahun 1958 Fakultas Pedagogik diintegrasikan ke dalam FKIP-UI.[2]
Seiring dengan situasi politik di tanah air, Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan kemudian pecah menjadi Departemen Pendidikan Dasar dan Kebudayaan (PDK) dan Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP). PDK mendirikan Institut Pendidikan Guru (IPG). Dengan berdirinya IPG maka terjadi dualisme lembaga pendidikan tinggi untuk mempersiapkan guru sekolah menengah. Setelah keluarnya Kepres No. 1/1953 pada tanggal 3 Januari 1963 akhirnya mengakhiri dualisme lembaga pendidikan tinggi guru.
Kepres itu memutuskan penyatuan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) dan Institut Pendidikan Guru (IPG) dalam sebuah lembaga pendidikan tinggi bernama Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP).[3]
Setelah berdirinya IKIP Jakarta pada tanggal 16 Mei 1964, maka dimulailah upaya pembenahan dan pengukuhan jati diri IKIP itu sendiri. Dengan Rektor pertama IKIP Jakarta adalah Brigjen A. Latif Hendraningrat. Pada masa ini kondisi politik Indonesia mengalami kekacauan, karena banyak pertentangan di dalam negeri yang menentang kebijakan Presiden Soekarno dengan Demokrasi Terpimpinnya dan dengan Nasakom-nya. Sehingga hal ini pun mempengaruhi keadaan IKIP Jakarta. Rektor pada saat itu merupakan seorang pendukung Demokrasi Terpimpin dan Manipolis. Sehingga mahasiswa IKIP mulai kehilangan kepercayaannya kepada Rektor tersebut dan akhinya Brigjen A. Latif Hendraningrat diturunkan dari jabatan Rektor IKIP Jakarta.
Setelah Rektor turun, maka kepemimpinan IKIP dipegang oleh Dewan Presidium yang diketuai oleh Dra. Maftuchah Yusuf. Karena ketua presidium hanya bergelar Dra maka ia tidak bisa menjadi rektor, oleh karena itu maka dilakukan pemilihan rektor definitif. Maka dengan suara dari mahasiswa baik itu tergabung dalam organisasi internal ataupun eksternal maka dipilihlah Deliar Noer sebagai rektor IKIP Jakarta, dan hal ini didukung oleh menteri. Maka sesuai dengan SK Direktur Jenderal PTIP No. 217/Sekret/UP/67 tanggal 30 Januari 1967 menetapkan bahwa Deliar Noer sebagai Rektor IKIP Jakarta.
Deliar Noer merupakan mantan Dosen dari Universitas Sumatera Utara. Ia bukanlah orang lulusan IKIP dan ia tidak pernah ke IKIP Jakarta sebelum ia diangkat menjadi rektor IKIP Jakarta. Tetapi dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat, Deliar Noer bisa mengembangkan IKIP Jakarta menjadi Institut yang patut diperhitungkan.
Hal pertama yang dibenahi adalah administrasi kemahasiswaan, dan akhirnya jumlah mahasiswa IKIP Jakarta mengalami peningkatan yang cukup pesat, sampai terjadi pembatasan jumlah mahasiswa. Selain itu juga Deliar Noer telah membuat Sistem Kredit Semester (SKS) dalam perkuliahan, dan hal ini bisa membantu mahasiswa dalam menyelesaikan studinya. Dan sebagai Institut keguruan, maka Deliar Noer membuat peraturan agar mahasiswa melakukan sistem praktik keguruan yang baru (PPL) di sekolah menengah. Selain itu juga Deliar Noer telah mendirikan perumahan untuk Dosen IKIP di Duren Sawit, dan mendirikan Laboratory School, dan mendirikan sarana dan prasarana untuk kelancaran perkuliahan di IKIP Jakarta.[4]
Sama seperti waktu Deliar Noer diangkat menjadi Rektor IKIP Jakarta karena situasi politik, maka Deliar Noer turun menjadi rektor pun karena hal politik. Keterlibatan mahasiswa IKIP Jakarta pada peristiwa Malari tahun 1974 menyebabkan Deliar Noer dicurigai sebagai orang yang anti pemerintah dan mengerahkan mahasiswa untuk melakukan aksi menentang pemerintah. Selain itu juga pada saat Deliar Noer akan dikukuhkan menjadi Guru Besar tetap, pidato pengukuhannya itu dianggap merupakan kritik pedas bagi pemerintahan Soeharto, dan hal itu mengakibatkan Deliar Noer dicopot dari jabatan Rektor IKIP Jakarta, dan dilarang mengajar di seluruh perguruan tinggi di Indonesia.
Dari uraian diatas dapat kita lihat bahwa, Deliar Noer merupakan Rektor IKIP Jakarta yang tidak memiliki hubungan dengan IKIP Jakarta sebelumnya, dan bahkan ia tidak pernah mengunjungi IKIP Jakarta sebelumnya. Tetapi ia bisa membuat IKIP Jakarta menjadi lebih baik dan banyak mengalami kemajuan.
Penelitian tentang sejarah Universitas Negeri Jakarta masih sedikit dilakukan. Maka peneliti mencoba untuk meneliti mengenai Deliar Noer dan peranannya dalam pengembangan IKIP Jakarta periode 1967-1974. Peneliti memfokuskan penelitian ini pada peranan apa saja yang telah diberikan oleh Deliar Noer untuk mengembangkan IKIP Jakarta pada saat ia menjabat menjadi Rektor IKIP Jakarta. Ketertarikan peneliti pada Deliar Noer adalah, karena ia merupakan Rektor yang bukan berasal dari IKIP dan tidak pernah ke IKIP sebelum ia menjadi Rektor IKIP, tetapi ia bisa mengembangkan IKIP Jakarta dari tahun 1967-1974.
[2] Tim Kordinasi Penulisan Buku 40 Tahun Universitas Negeri Jakarta, Lintas peristiwa 40 tahun Universitas Negeri Jakarta (Jakarta : Universitas Negeri Jakarta, 2004). Hal. 4.
[3] Ibid., Hal. 5.
[4] Deliar Noer, Aku bagian Ummat Aku Bagian Bangsa (Ottobiografi Deliar Noer). (Jakarta : Mizan, 1996). Hal. 611-620.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar