MENARIK PELAJARAN DARI SEJARAH
(ASEP RAHMAT HIDAYAT, MAHASISWA SEJARAH, UNJ)
JUDUL BUKU : MENARIK PELAJARAN DARI SEJARAH.
KARANGAN : Mr. HARDI.
PENERBIT : CV. HAJI MASAGUNG.
KOTA TERBIT : JAKARTA.
TAHUN TERBIT : 1988.
Sejarah adalalah rekonstruksi peristiwa masa lalu. Maka dalam proses rekonstruksi itu tidak terlepas dari pandangan subyektif seorang sejarawan. Sejarah sebagai peristiwanya itu bersifat obyektif, dengan kata lain bahwa peristiwa itu benar-benar ada dan terjadi seperti itu. Tetapi sejarah sebagai kisah, yang merupakan hasil rekonstruksi seorang sejarawan, lebih bersifat subyektif, karena dalam melakukan rekonstruksi tidak bisa dilepaskan dari peranan dari seorang sejarawan itu sendiri.
Tetapi terlepas dari sejarah itu obyektif ataukah subyektif, kita sebagai bangsa yang menghargai sejarah sudah seharusnya lah mempelajari dan mengerti sejarah bangsa Indonesia. Mengerti sejarah tidak hanya mengerti bagaimana peristiwa sejarah itu terjadi, tetapi lebih jauh lagi yaitu kita harus bisa “sadar sejarah”. Sadar sejarah merupakan sifat yang sebenarnya harus dimiliki oleh setiap manusia atau bangsa Indonesia pada khususnya. Dengan sadar sejarah kita tidak hanya mengerti sejarah, tetapi kita bisa menarik pengalaman dari peristiwa sejarah yang cenderung bersifat berkesinambungan.
Selain kita memiliki sifat sadar sejarah, kita juga harus berupaya untuk menarik pelajaran dari pengalaman di masa lampau, baik itu yang berupa positif ataupun negatif. Dengan adanya pengalaman itu, kita bisa mengenali nilai-nilai luhur serta norma-norma kehidupan masyarakat yang mantap yang mungkin saja bisa kita terapkan di masa sekarang ataupun di masa yang akan datang.
Dalam menarik nilai-nilai itu sendiri, seseorang itu harus menghilangkan emosional sejarah dan subyektifitas. Apabila kita dalam menarik nilai-nilai atau pelajaran dari peristiwa sejarah kita memiliki emosional sejarah, maka kita cenderung akan menganggap satu peristiwa yang satu lebih penting dari peristiwa yang lain, dan menganggap peristiwa itu benar dan yang lain itu keliru. Maka apabila kita memiliki sifat seperti itu, kita bukanlah mendapatkan nilai atau pengalaman tetapi justru kita akan menjadi seorang yang sangat subyektif dan mengesampingkan peristiwa sejarah yang lain.
Subyektifitas tidak salah jika di miliki oleh manusia, karena pemikiran orang yang satu dengan yang lainnya itu berbeda. Tetapi dalam usaha menarik nilai dan pengalaman unsur subyektifitas itu hendaklah dihilangkan, karena akan melihat sejarah tidak secara keseluruhan saja, tetapi hanya melihat sejarah yang ia anggap benar atau sesuai dengan dirinya sendiri. Misalnya terkadang seseorang itu mendiskreditkan masa Orde Lama, dan mengagung-agungkan Orde Baru, serta menganggap Orde Baru itu merupakan inti dari Sejarah Indonesia. Padahal sejarah itu berkesinambungan, tidak mungkin ada Orde Baru jika tidak ada Orde Lama.
Untuk bersikaf obyektif dan bersifat proporsional hendaklah kita dalam melakukan penilaian kita harus memegang teguh prinsip ilmu sejarah. Yaitu setiap periode dalam sejarah merupakan tonggak sejarah yang saling berkaitan. Bukanlah suatu bagian sejarah yang berdiri sendiri dan tidak memiliki keterkaitan sama sekali. Selain itu juga, untuk mengenali nilai-nilai luhur serta norma-norma kehidupan masyarakat, kita harus mengadakan perbandingan antara situasi dan kondisi masyarakat dari jaman ke jaman dan harus dilihat dengan benar-benar obyektif. Maka dengan itu kita bisa mengambil nilai atau pengalaman itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar